Tukang Becak Asal Trenggalek, Yang Mampu Kuliahkan Anaknya Sampai Menjadi Dosen
Pada usia yang sudah menginjak 65 tahun, Bambang Wiyono masih saja terus mengayuh becaknya. Dia mengingat kembali bahwa selama 36 tahun bekerja menjadi tukang becak, banyak hal yang diraihnya. Sehari-harinya, Bambang mangkal di jalan Simpang Tambora, kelurahan Pisangcandi, kecamatan Sukun untuk menunggu pelanggan atau pun menunggu jam untuk menjemput anak-anak sekolah.
Pada awalnya, pria kelahiran Trenggalek ini sama sekali tidak memiliki pikiran untuk menjadi tukang becak, namun nasib ternyata mendorongnya untuk melakoni pekerjaan yang hingga kini ditekuninya tersebut. Sebelum menjadi tukang becak, sudah banyak pekerjaan yang dilakoninya, mulai berjualan, bekerja di pasar malam, hingga bekerja di perusahaan sebesar PT Pindad di Turen. Namun pada akhirnya dia memilih menjadi tukang becak.
Awal mula menjadi tukang becak juga tidak lepas dari kesempatan yang diperolehnya. Sebelum menikah, Bambang bekerja di sebuah perusahaan yang menuntutnya untuk bekerja dalam waktu yang lama di tempat-tempat yang jauh. Karena hal tersebut akhirnya setelah menikah, dia memutuskan untuk keluar dan berjualan es bersama istrinya.
"Jadi waktu itu saya kerja bisa sampai satu tahun harus di Palembang lalu di Manado. Setelah nikah, karena kasihan istri kalau ditinggal lama-lama jadi akhirnya saya keluar dan memilih untuk berjualan saja," jelas Bambang.
Waktu itu dia berjualan di daerah perempatan Dieng sekitar awal tahun 1980. Namun karena pembangunan kota serta berbagai penertiban yang biasa dilakukan terhadap Pedagang Kaki Lima, warung Bambang yang awalnya ramai menjadi sepi karena sering dipaksa tutup dan kadang berpindah tempat. Saat itu lah becak yang dia biasa gunakan untuk membawa barang dagangannya ternyata menjadi peluang untuk pekerjaan barunya.
"Jadi becak yang buat angkat barang itu saya taruh di samping rombong. Ternyata ada orang yang minta antar ke jalan Taman Agung. Setelah saya pikir akhirnya saya antar saja. Lumayan waktu itu dapat Rp 50 sedangkan jualan es saya satu porsinya Rp 30," jelas Bambang.
Sejak saat itu lah dia putuskan untuk menjadi tukang becak dan akhirnya menutup gerobak esnya tersebut.
"Rombongnya saya jual dan saya mulai jadi tukang becak dari situ," tutur Bambang.
Sebagai tukang becak, Bambang juga sempat merasakan masa jaya dan ramai-ramainya becak sebagai pilihan utama transportasi. Dia menyebut bahwa mulai tahun 1985 hingga 2007 merupakan masa jaya becak terutama ketika Universitas Merdeka (Unmer) masih ramai.
"Dulu itu saking ramainya, bahkan satu becak bisa dibuat giliran oleh 3 orang (tukang becak)," jelas Bambang.
Walaupun saat ini lebih sepi, namun Bambang menuturkan jika penghasilan yang diraihnya masih cukup dan memenuhi untuk rumah tangga dan kehidupan sehari-hari. Hasil yang diperoleh Bambang dari mengayuh becak ini bahkan mampu mengantarkan dua anaknya untuk berkuliah, bahkan anak pertamanya kini bekerja sebagai dosen di Universitas Borneo, Tarakan.
Bambang mengungkapkan bahwa sebetulnya dari menjadi tukang becak ini hasil yang diperoleh bisa cukup untuk berbagai hal asal panda-pandai menyiasatinya. Selain menyekolahkan dua anak, Bambang juga bisa membeli dua rumah dari penghasilannya sebagai tukang becak ini.
"Sebenarnya jadi tukang becak itu penghasilannya cukup. Jadi kalau ada orang mbecak dari dulu tapi sekarang hidupnya sengsara ya karena salahnya sendiri nggak bisa ngatur uangnya," jelas Bambang.
Walau usia menjadi semakin tua namun Bambang mengatakan dia masih ingin menjadi tukang becak untuk mendapat penghasilan dan bertemu banyak orang.
"Sebenarnya anak saya sudah melarang, tapi kalau nggak dapat uang dari keringat sendiri itu rasanya nggak enak. Selain itu narik becak itu juga enak karena bisa ketemu macam-macam orang," tukas Bambang.